Rampung
Aku menutup buku yang sedari tadi asyik kubaca. Mataku tertuju pada arloji hitam di pergelangan tanganku. Sudah pukul tujuh malam, sebelas jam berlalu namun pikiranku masih terjebak pada satu titik yang kusebut rancu. Kembali ku tatap surai hitam yang sedari tadi kucuri curi pandang. Tuan itu masih asyik dengan dunianya sendiri, tak bergeming sedikitpun sedari tadi. Tak apa, lupakan saja ia.
Dia masih tidak menyadari kalau ada satu hati yang mencari cara untuk membuka miliknya. Ah, lupakan saja. Menjadi temannya sudah teramat cukup.
“Ryn, sudah selesai baca bukunya?” Jaden bertanya.
Iya, namanya Jaden. Dan aku, Haryndhisa. Selamat berkenalan dengan kami, puan yang satu amat pemalu, dan tuan yang satu amat tidak mau tahu.
“Ah, iya, sudah. Kamu gimana?” tanyaku kembali.
Ia mengangkat dua buku yang ada di tangannya, senyumnya mengembang sembari berkata, “Sudah, kok. Ini aku mau pinjam seri dari Lima Sekawan lagi, Ryn! Seru juga ya, enggak heran kalau kamu suka,” tuturnya.
Ah, iya, jelas. Aku kan Haryn. Buku bacaanku saja kamu menyukainya, apa untuk balik menyukaiku kamu tidak bisa?
“Ya sudah, ayo kita pulang,” ucapku.
Aku bergegas membenahi barang-barangku dan sampah milik kami. Tapi Jaden hanya diam, tak bergeming. Aku yang bingung sontak menggerakkan kepalaku, mengisyaratkan pertanyaan, “Kenapa kau diam saja?”
"Ryn, cuaca dan malam ini masih membuatku nyaman, menurutmu bagaimana?" Tanyanya. Aku hanya mengangguk mengiyakan.
“Kalau begitu, yuk ke lantai atas!” ia menggenggam pergelangan tanganku, menarikku.
Jarang sekali ia begini, Bu Sulastri pun sampai terkejut melihat kami berlari kecil sambil bergandengan menuju lantai atas. Oh, ya. Bu Sulastri adalah pengelola perpustakaan ini, sebenarnya perpustakaan ini memiliki jadwal tutup pada pukul tujuh malam. Tapi apa boleh buat, dua tahun berturut kami kemari melewati jam miliknya. Maaf ya, Bu.
Kami duduk di sofa yang ukurannya tepat untuk dua orang. Ia terletak menempel, atau lebih tepatnya pada jendela besar yang langsung mengarah pada langit perkotaan. Kami mengatur posisi duduk, saling memunggungi. Jangan aneh, Jaden bukan insan yang pandai menatap netra lawan bicaranya.
“Ryn, kamu lihat bintang benderang pada langit diatas gedung paling tinggi itu?” Jaden memecah keheningan, dan aku membelokkan kepalaku sembilan puluh derajat, memandang bintang yang ia maksud, lalu mengangguk.
“Menurutku, itu gugusan rasi bintang Orion. Ia bercahaya sangat terang, juga mudah ditemukan karena bintang-bintangnya terletak pada ekuator langit,” jelasnya.
Aku hanya menggelengkan kepalaku.
“Loh, kok bukan? Kalau bukan, menurutmu apa, Ryn?” ia bertanya.
Aku menjawab, “Bukan itu maksudku, ah aku enggak mengerti tentang bintang, rasi, gugusan, atau astronomy things lainnya, Jaden.”
“Kamu sebaiknya jadi ahli astronomi daripada harus berkutat dengan lensa kamera juga gulungan film,” tambahku.
Dia hanya tertawa, membalikkan badannya, lalu mencolek punggungku, memberi isyarat. Kini kami bertatapan.
“Cita-citaku amat sangat banyak, dan aku yakin, satu persatu bisa kucoret dan kupindahkan ke dalam daftar apa saja yang sudah aku wujudkan."
"Ada satu yang sulit, Ryn. Ada satu masalah. Dan aku yakin kamu bisa membantuku,” ujarnya.
Aku menaikkan satu alisku, menyelipkan tanya.
“Aku ingin terus memotret hal-hal indah dalam hidupku,” jawabnya.
“Lalu, masalahnya?” tanyaku.
“Aku ingin kamu yang menjadi objeknya,” ia menjawab.
Dua kalimat tadi sukses memporak-porandakan semestaku. Ya Tuhan, aku berdoa sebaiknya Jaden tidak bercanda.
“Tidak, Ryn. Aku enggak becanda. Kamu membawaku kedalam duniamu yang kurasa aku lebih cocok berdiam diri disana.”
“Kamu tahu? Sebelum bertemu kamu, duniaku hanya berwujud repetisi nilai-nilai akademi ditemani malam-malam dan jam tidurku yang sialnya harus kubagi demi mencapai sesuatu yang bodohnya tak perlu kugapai sekeras itu,” Jaden menjelaskan panjang lebar.
Aku hanya sanggup menelan ludah.
“Ryn, kalau diriku tergambar sebagai sosok pria yang tak punya nyali untuk menatap netra lawan bicaraku, terutama kamu, kamu salah besar”
“Aku selalu menatapmu ketika bicara, hanya saja kamu tak pernah membalasnya. Kamu memperhatikanku bercakap dengan orang lain, dan aku tahu itu, hanya saja kamu tak cukup mampu untuk mengetahuinya”
“Jadi, bagaimana, Ryn?” ia bertanya.
Dan aku sudah memiliki jawabannya.
Aku tertawa kikuk.
“Jaden, aku juga punya satu cita-cita dan satu masalah yang kupikir kamu bisa membantuku memecahkannya,” jawabku.
“Apa itu?” jaden menegaskan badannya, memberikan kesan antusias pada jawabanku.
“Aku ingin menulis semua hal yang ingin kutuliskan, dan masalahnya, aku ingin menulis cerita milik kita. Kamu bisa membantuku?”
Kami beruntung, malam itu cukup dingin untuk sebuah pelukan.
